Penulis : Sabiq Carebest
Penerbit : Koekoesan
Harga : Rp. 50.000
Bahasa menjadi sebuah wilayah, sebuah daerah. Ia terjaga. Seperti entitas yang selamanya tidak berubah lagi. Di sana, bahasa menandakan suatu waktu, suatu masa, keadaan. Di sana, bahasa menyatakan penggunanya, pemakainya. Penggunanya kali ini seorang penyair, Sabiq Carebesth. Pilihan katanya, diksi dalam puisi-puisinya, menandakan bahasa sebagai sebuah waktu.
Puisi-puisi Sabiq dalam kumpulan ini, rata-rata ditulis tahun 2010 dan 2011. Tetapi 2010 dan 2011 bukan lagi menandakan realitas bahasa. Dalam bahasa yang digunakan Sabiq, 2010 dan 2011 hanya sebagai dokumen waktu. Bukan waktu sebagai kehidupan yang menahan kita di dalamnya. Realitas ini sama seperti seseorang yang kehidupan internalnya ditandai oleh produk-produk, ungkapan, rasa bahasa maupun perspektif-perspektifnya yang semuanya datang dari masa yang sama. Namun realitas internal ini berada dalam realitas ekstenal yang seluruhnya datang dari masa yang lain. Sebuah gerhana realitas dan gerhana waktu sekaligus. Ia seperti pesawat telfon yang masih menggunakan kabel. Namun dunia di luarnya tidak lagi menggunakan kabel, melainkan sudah menggunakan sinyal. Sebuah gambaran yang mirip dengan salah satu puisi Sabiq (Pelukis dan Gadisnya). Puisi yang menggambarkan pelukis yang akan melukis gadis yang dipujanya. Tetapi gadis itu telah tiada. Dan sang pelukis juga kehilangan gambaran sosok gadis itu: aku tak sanggup jadi bayangan bagi kelammu.
Gerhana waktu yang membuat puisi-puisi Sabiq seperti sebuah perjalanan tidak untuk menempuh perjalanan itu sendiri, tetapi justru untuk berada dalam kendaraan yang mengangkutnya, yaitu bahasa: pujalah di dinding sepimu. Dalam kendaraan ini (dinding sepimu), kita kemudian bertemu dengan banyak hal dari berbagai perjalanan yang sudah berlangsung, pertemuan-pertemuan maupun perpisahan-perpisahan yang sudah sudah terjadi. Tetapi dalam kendaraan ini pula kita bertemu dengan kehilangan yang terus berlangsung, terus-menerus, di tengah banyak hal yang sudah terjadi. Dia yang kemudian melepaskan batas-batas ontologis untuk menghadirkan tatanan waktu yang dibawa oleh puisi.
Beberapa pilihan kata dalam puisi Sabiq seperti: kanvas jiwaku, semesta, kalbu, mahkota, senandung, seruling, nun muram, di bibir nasib, sulam kelambu merupakan diksi yang membuat bahasa berhenti di suatu waktu atau suatu masa. Ungkapan kanvas jiwaku mengandaikan sebuah masa dimana seniman pelukis masih menempatkan roh sebagai pencitraan terhadap seni lukis yang hidup, “jiwa yang terlihat” dalam pengertian S. Sudjojono (jiwa ketok). Hubungan antara manusia atau seorang seniman dengan media dan peralatan masih berada dalam hubungan langsung, berada dalam pesona yang memenuhi dirinya. Hubungan ini di masa kini kian menjadi hubungan materialistis atau fungsional. Perubahan ini berlangsung besama dengan menghilangnya diksi kalbu yang hampir tak pernah lagi digunakan dalam komunikasi sehari-hari. Dunia kalbu, suara hati yang pernah romantik itu, tenggelam bersama berbagai perubahan yang melandanya.
...
Munculnya kembali diksi kalbu dalam puisi Sabiq, mengingatkan kembali tradisi puitik maupun komunitas semiotik yang membuat diksi ini pernah penting sebagai konsep yang menjelaskan nilai-nilai yang hidup dalam komunitas semiotik itu. Hal yang sama dengan ungkapan di bibir nasib, mahkota, tudung sutra biru atau sulam kelambu. Komunitas semiotik di mana tubuh dengan objek yang digunakan tubuh masih berlangsung sebagai hubungan langsung yang prosesnya bisa diikuti. Bukan proses instan dalam pabrik. Komunitas semiotik di mana kemerdekaan masih merupakan tema bersama: Yang meronta meminta tanda. Bahwa hidup kita merdeka (“Masa untuk idaku”). Kemerdekaan dalam konsep komunitas semiotik ini telah kian bergeser dengan realitas masa kini dimana materialisme dalam budaya uang kian menjadi penanda utama.
Visi yang sama senilai dengan konsep kemerdekaan, kembali bisa ditemukan dalam puisi Sabiq: engakau mulia dalam apa yang engkau kehendaki, engkau mulia dalam apa yang kau kerjakan… Judul puisi ini “Memoar Kehilangan”, sekaligus digunakan Sabiq sebagai judul untuk buku kumpulan puisinya ini. Judul yang memang mewakili visi tentang “waktu yang hilang yang mewarnai hampir seluruh puisi-puisi Sabiq. Penggunaan diksi Sabiq, yang menahan bahasa berhenti di wilayah pengguna maupun di wilayah waktu tertentu, membuat puisi-puisi Sabiq dalam kumpulannya ini melahirkan kembali alam dengan malam sebagai malam, langit luas, angin laut, tanda kepergian dengan menggunakan pantai maupun kapal, manusia dan alam yang masih bisa menari bersama di ruang terbuka.
Menari dan bernyanyi masih merupakan ekspresi penting dalam puisi Sabiq. Dalam beberapa strategi puisi yang ditulis Sabiq, unsur rima masih memainkan peran dengan permainan vokal a, I maupun u yang umum digunakan dalam penulisan sanjak, seperti sajak “Babak Asmaradana” ini:
Memilih kuda pacu
Niat hati mau melaju
Tapi tunggu dulu;
Bawalah serta masalalu
Hal yang sama juga berlangsung dalam interior puisinya “Tetap di sini; Jangan kemana-mana”. Judul yang juga bisa dibaca sebagai “puisi pernyataan” tentang bahasa yang harus tetap di sini, tidak berubah bersama dengan perubahan politik maupun ekonomi. Atau dalam puisi di atas: Tapi tunggu dulu; bawalah serta masalalu. Bahasa harus terus mengandaikan kontinyuitas waktu, dan bukan mengukuhkan terbelahnya waktu antara masalalu dengan masakini.
Salah satu puisinya, Cermin Retak, mempertanyakan gadis-gadis desa yang pergi meninggalkan desanya, bekerja di kota sebagai buruh dengan gaji rendah dan tinggal dalam rumah kos murah. Tarikan kota kepada perempuan desa, walau kualitas hidup di kota jauh lebih buruk daripada di desa, memperlihatkan ambruknya desa dalam imajinasi sosial kita. Perempuan-perempuan desa pergi bersama dengan bahasa dan gaya hidup desa. Ungkapan gadis juga kian hilang dalam pergaulan bahasa di kota, di mana ungkapan ini mewakili komunitas semiotik sebelumnya untuk perempuan yang masih lajang atau perawan. Menahan bahasa untuk berhenti pada batas waktu tertentu, dalam hal ini signifikan untuk melawan perubahan yang kian menghancurkan kualitas hidup maupun imajinasi sosoial kita bersama:
Kemana perginya gadis desa
Kemana larinya ibu dan adik-adik
Mereka tidak ada di sekolah
Tidak di sawah
Pergi dari rumah
Jadi perempuan perkotaan
Ya jadi buruh
Tidur dikontrakan kumuh
Harus menipu diri sendiri
Setiap hari
Sebab gaji rendah
Interior puisi seperti yang dilakukan Sabiq ini, pada satu sisi seperti melawan proses destabilisasi bahasa yang berlangsung terus-menerus sejak pemerintahan Orde Baru. Bahasa menjadi bagian dari mode yang terus berubah bersama dengan perubahan kekuasaan, pergeseran modal dan pasar, maupun perubahan gaya hidup. Sabiq menyebutnya sebagai “metafora waktu”, sebagaimana dengan salah satu judul puisinya: Aku terlempar pada bayangan hampa. Dari metafora kecantikan setubuh masa. Bayangan disandingkan lebih dekat dengan kecantikan, tubuh dan masa.
Waktu sebagai dokumen beralih menjadi waktu sebagai memori. Memori yang terlempar, tersingkirkan. Bayangan di sini menjadi penting sebagai perayaan atas memori yang terlempar itu. Bahasa yang dihentikan atau terhentikan dari perjalanan perubahannya, dalam puisi Sabiq menjadi sebuah entitas dimana kita bisa menyimpan kepercayaan-kepercayaan kita, sejarah identitas, dalam peralihan waktu seperti ini. Dan memori diperlakukan sebagai ibu kandung dari kepercayaan maupun sejarah identitas ini. Memori tertinggal dan selalu bersama dengan konteksnya sendiri. Posisi memori dalam konteksnya, tidak tersentuh oleh konstruksi sejarah apa pun yang memprovokasinya, bahkan oleh konstruksi sejarah yang sistematis dan kontinyu terus berusaha menguasai waktu dan memperspektifkan realitas:
Ziarah Malam
....
Jika kami terlambat
adakah kami harus menebus dengan ribuan waktu?
Sedang bagimu betapa tak bergunanya menghitung waktu:
Waktu berlalu
Waktu bergerak maju
Mengitari kekinian mencari kemarin
...
Memori, bahasa, puisi dan waktu merupakan personifikasi dari seseorang sebagai dia dari mereka yang berusaha menyelamatkan memori, ingatan, kenangan dari agresi sejarah. Walau memori ini hidup dalam sebuah perjalanan kehilangan terus-menerus. Memori seperti tidak mendapatkan waktunya untuk memasuki prosesnya sendiri, sekaligus tidak mendapatkan bahasanya untuk menjadi bagian dari para penghuni bahasa masa kini. Tetapi dengan cara ini pula personifikasi dari “dia-yang-kehilangan” itu mengingatkan kita kembali tentang waktu, bahasa sebagai tanda-tanda untuk membaca diri kita sendiri. Puisi di sini menjadi sebuah “gerhana waktu” dan “gerhana bahasa” sekaligus. Dia ditutupi oleh bayangannya sendiri sebagai wujud dari “dia-yang-kehilangan”. Visi dari “dia-yang-kehilangan” ini adalah mencari “yang-kemarin”, seperti dalam puisinya Ziarah Malam di atas.
Hampir seluruh puisi-puisi Sabiq Carebesth dalam kumpulannya ini lahir sebagai gerhana bahasa dan gerhana waktu dari “dia-yang-kehilangan” itu. Saya degan sadar berusaha tidak menyertakan biodata mengenai Sabiq Carebesth untuk membaca kumpulan puisinya ini, hanya karena saya tidak ingin justru kehilangan “gerhana waktu” dan “gerhana bahasa” dalam puisi-puisinya. Kesadaran yang sekaligus membuat saya menemukan pantulan puisi yang berlangsung terus-menerus antara waktu sebagai dokumen dan waktu sebagai kehidupan. Di antara keduanya adalah kehilangan: ditabur dipemakaman cinta yang kita matikan sendiri, merupakan pantulan puisi yang saya kira merupakan inti dari negosiasi waktu yang kemudian dilakukan Sabiq antara kenangan dengan masakini. Ungkapan ini berlangsung dalam puisinya Asmara Tanpa Senggama.
Negosiasi waktu seperti itu, antara kenangan dan sejarah, melahirkan semacam persuasi terhadap sesuatu yang tidak berhenti, walau kenangan telah berhenti. Persuasi sebagai hasil dari perjalanan pencarian di luar sejarah masakini. Ketika kenangan berhenti, dan waktu terus bergerak, sejarah terus berubah, kenangan kemudian menempuh jalannya sendiri, menempuh pencariannya sendiri. Konsistensi seperti ini bagi Sabiq, dan saya menyetujuinya, adalah jalan kegilaan yang memang harus dilakukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar