Penulis : Saut situ morang
Penerbit : Indie Book Corner
Harga : Rp 75.000,-
5 Tahun boemipoetra, Pena Dilesatkan
djoernal sastra boemipoetra, merupakan salah satu dari sekian djoernal sastra yang terbit diIndonesia. Kemunculannya diragukan banyak orang. Terutama dengan daya tahan hidup. Kuat berapa bulankah jurnal yang cuma dibiayai semangat dan senantiasa urunan/patungan para redakturnya itu. Di era kapitalistik seperti sekarang ini, keraguan tersebut sangatlah pantas. Ketika lebih banyak orang yang berlomba mengumpulkan harta, ternyata masih ada yang peduli menyisihkan harta untuk sastra.
Untuk apa? Tentu untuk membangun kesusastraan yang lebih bermartabat. Mainstream kesusastraan bukanlah satu warna. Bukan melulu satu kanal. Yang lebih sering didiktekan para redaktur media. Bagaimana pun urusan estetika adalah soal subjektifitas. Setiap indinvidu mempunyai gaya. Seperti pelukis yang dibedakan coretan tangannya. Sastra tak melulu keindahan seni bahasa. Namun mesti mengarah pada seni pembangunan moral. Harga tersebut tak bisa ditawar.
boemipoetra lahir untuk menjadi mitra diskusi. Menjadi lorong baru, di antara sekian lorong yang telah terbangun. Caranya mungkin yang berbeda. Agak menyentak. Namun tetap mengedepankan fakta-fakta yang selama ini ditilap dari ruang publik. Itulah yang menjadi ciri khas boemipoetra. Bicara tanpa tedeng aling-aling. Beberapa pihak menyatakan telah terjadi ‘kekerasan kebudayaan’. Padahal sesungguhnya personal-personal boemipoetra(lah) yang terkena ‘kekerasan kebudayaan’, terlempar dari ruang-ruang budaya di media. Tersingkir dari festival-festival satu warna.
Tak apa, perjuangan memang butuh pengorbanan. Tak adanya dana asing yang masuk pada boemipoetra membuktikan bahwa djoernal ini benar-benar mandiri. Boekan Milik Antek Imperialis. Tidak terdikte. Benar-benar membela kepentingan kaum boemipoetra. Kaum yang sering dilecehkan oleh bangsanya sendiri yang tega menjual harga diri untuk kepentingan asing. Mesti diingat, 350 tahun negeri ini dijajah Belanda. Setiap penjajah senantiasa membutuhkan kekuatan militer. Dan lebih dari 80% tentara Belanda adalah orang-orang pribumi yang gampang diperalat dengan gulden.
Sampai sekarang orang pribumi yang gampang diperalat itu tetap ada. Memang tidak banyak, namun kekuatan legitimasi asing yang melekat pada dirinya, sanggup mendominasi setiap ruang. Mematahkan perlawanan kaum pribumi tulen. Sesungguhnya, mereka yang buruk tak lebih dari 20%. Sayangnya merekalah yang cenderung mendapat kepercayaan. Sehingga 80% yang baik seperti hilang ditelan awan.
Dengan kesadaran bahwa kesusastraan adalah keberagaman, boemipoetra menggelinding deras. Tak peduli, diperkirakan umurnya cuma beberapa bulan. Di dalamnya ada yang Nasionalis, Marxis, Islam Tradisional, Islam Garis Keras. Ada bakul gudeg, wartawan, teaterawan, buruh, fesbooker, pegawai negeri. Ada yang di Jakarta, Yogya, Tangerang,Banten, Kudus, Ngawi. Sangat plural. Namun tetap menjunjung semangat yang sama. Tetap bisa berdiskusi untuk memutuskan kesepakatan yang dijadikan pedoman bersastra.
Dan, ketika boemipoetra telah mencapai umur 5 tahun, ada baiknya djoernal-djoernal boemipoetra yang bertebaran dijadikan buku. Sebagai pelajaran bagi kesusastraan kita bahwa di mana tumbuh rezim sastra, disitu akan lahir pejuang-pejuang yang menentangnya. Dan setiap pejuang tak pernah berpikir jadi pahlawan atau pecundang. Yang penting bendera mesti diangkat tinggi-tinggi. Pena dilesatkan.